Dilarang keluar dari kompleks perumahan. Dari seorang yang terlatih menulis, dia menjadi pengangkut kotoran manusia untuk pupuk tanaman. Perasaannya tambah tertekan.
Apalagi muncul perpecahan di kalangan mereka yang tak bisa pulang ke tanah air itu. Ratusan jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti hendak berbunuh-bunuhan, karena beda pilihan keyakinan politik, antara Moskow dan Peking.
Beberapa tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat. Melihat titimangsanya, surat itu terlambat empat bulan. Melalui perbatasan sejumlah negara Eropa, diposkan di Amsterdam. Hanya secarik kertas.
Dia membujukku menjual apa saja untuk ongkos dan bertolak dari Jakarta supaya bisa berjumpa di Macao atau Kanton. Waktu itu, pekerjaan sebagai tukang jahit dan pembuat kue sudah kutinggalkan.
Aku sudah memiliki beberapa bajaj dan berangan-angan menjadi pengusaha taksi supaya bisa memilih perguruan yang baik untuk anakku.
Di stasiun kereta api Kanton aku menjumpainya sedang duduk di sebuah bangku panjang. Duduk berpangku tangan. Dari rona matanya, sepertinya dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku memanggil namanya. “Ini aku…,” sapaku. Dia berdiri, memelukku erat-erat seperti hendak meremukkan tulang rusukku. Orang hilir mudik tak dia hiraukan.
“Malam pertama, dia bercerita tentang rencananya berangkat ke Belgia, yang tak lama lagi akan membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Sehingga visa tinggal di negara itu diperkirakan akan mudah diperoleh.
Dari negara itu, katanya, dia akan melompat ke Belanda, di mana beberapa orang temannya senasib sudah siap menampung. Aku hanya meletakkan kupingku dengan baik-baik di bahunya. Mengiyakan apa saja yang dia rencanakan.
Malam kedua, ulu hatiku terasa seperti dia tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke kupingnya, bahwa aku sering pergi dengan lelaki lain. Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang kering.