KUNCI JAWABAN Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 81 82 Pertanyaan berdasarkan Cerpen Tanah Air Martin Aleida

- 17 Juli 2023, 11:37 WIB
KUNCI JAWABAN Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 81 82 Pertanyaan berdasarkan Cerpen Tanah Air Martin Aleida
KUNCI JAWABAN Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 81 82 Pertanyaan berdasarkan Cerpen Tanah Air Martin Aleida /pexels.com/pixabay/

Yang membuat matanya terkadang garang. Teramat garang. Memerah. Seperti hendak pecah. Kalau sudah begini, dia menghindar dari tatapanku, bagaimana pun manisnya aku tersenyum, dan melemparkan pandang ke luar jendela.

Yang tetap bertahan adalah pernyataan kasih sayangnya sejak dulu: kalau bangkit dia tak pernah lupa membelai lututku, persis di atas betis yang katanya membuat dia kesengsem, dulu.

Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena paspor mereka dirampas penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang keji, karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak tunggal kami.

Tak sekali-dua-kali kawan-kawannya di Tiongkok, sebelum mereka mendamparkan diri ke Amsterdam sini, memergokinya sedang membisikkan nama anaknya berulang kali, dan membentur-benturkan kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok.

Kawannya sekamar sering mendengar desis sebuah nama dan gedebuk berulang-ulang di dinding batu sementara dia masih berada di toilet.

Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh daratan Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan apa yang dia saksikan. Dia dengar di seluruh negeri itu seorang manusia sedang dipuja melebihi dewi Kwan Im.

Suatu pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal merah, yang sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di beranda hotel di tingkat ke sekian, menghadap ke timur.

Mereka bukannya memuja matahari, melainkan memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah di mana. Lewat pengeras suara, mereka bersenandung, seperti hendak menggelontorkan matahari:

“di langit tiada dewa
di bumi tiada raja
gunung-gunung menyingkirlah
aku datang ...”

Dia bersama ratusan kawan senasib disingkirkan ke sebuah kota kecil, jauh dari Peking. Alasannya demi keamanan. Supaya tak jadi sasaran mereka yang datang dengan senjata “Buku Merah”. Dia merasa benar-benar dikucilkan, disingkirkan, dari dunia yang wajar.

Halaman:

Editor: Kun Daniel Chandra

Sumber: buku.kemendikbud.co.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah