Antara tahun 1928-1935 bermunculan gerakan kepanduan Indonesia baik yang bernapas utama kebangsaan maupun bernapas agama.
Kepanduan yang bernapas kebangsaan dapat dicatat Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI).
Sedangkan yang bernapas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathan, Kepanduan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepanduan Asas Katolik Indonesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia (KMI).
Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia BPPKI merencanakan “All Indonesian Jamboree”.
Rencana ini mengalami beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan, yang kemudian disepakati diganti dengan “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” disingkat PERKINO dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta.
Gerakan Pramuka pada Masa Perang Dunia II
Pada masa Perang Dunia II, bala tentara Jepang mengadakan penyerangan dan Belanda meninggalkan Indonesia.
Partai dan organisasi rakyat Indonesia, termasuk gerakan kepanduan, dilarang berdiri. Namun upaya menyelenggarakan PERKINO II tetap dilakukan.
Baca Juga: Trisatya Pramuka Penggalang, Menggapai Impian dan Mengukir Kisah Inspiratif bersama Gerakan Pramuka
Bukan hanya itu, semangat kepanduan tetap menyala di dada para anggotanya. Karena Pramuka merupakan suatu organisasi yang menjunjung tinggi nilai persatuan. Oleh karena itulah bangsa Jepang tidak mengizinkan Pramuka di Indonesia.
Gerakan Pramuka pada Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
Sebulan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh kepanduan berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja.