Mengapa Kualitas Pendidikan di Indonesia Rendah, Simak Penjelasan Selengkapnya

- 20 Mei 2023, 16:19 WIB
Mengapa Kualitas Pendidikan di Indonesia Rendah, Simak Penjelasan Selengkapnya
Mengapa Kualitas Pendidikan di Indonesia Rendah, Simak Penjelasan Selengkapnya /Pexels.com / Erik Mclean/

INFOTEMANGGUNG.COM - Pendidikan merupakan jembatan bagi suatu bangsa dalam keberhasilan membangun Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, tujuan kemerdekaan negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dengan melaksanakan pendidikan, cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia tercapai.

Pendidikan tak terbatas oleh rentan usia dan waktu tertentu. Pendidikan pula tak mengenal derajat dan martabat seseorang. Setiap manusia Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Seperti yang tercantum dalam UUD pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, "Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran" dan ayat 2 yang berbunyi, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya."

Berdasarkan ayat ke dua, membiayai pendidikan warga negaranya menjadi kewajiban bagi pemerintah. Kita berhak meminta kepada pemerintah untuk itu. Kita harus menyadari betapa pentingnya pendidikan untuk dijadikan sebagai penunjang masa depan cerah dan lebih baik.

Baca Juga: Inilah Peran Guru Penggerak Dukung Murid untuk Jadi Kendali dalam Proses Pembelajarannya Sendiri

Dengan pendidikan, kita tidak mudah terjerumus pada hal-hal yang salah dan menyesatkan. Otak juga harus diberi asupan ilmu agar fungsinya tetap terjaga. Maka melalui pendidikan, ilmu akan kita dapat sebagai bekal di kemudian hari.

Pendidikan bisa mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Sebagaimana tujuan pendidikan yang dijelaskan  pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab.

Dibalik pentingnya pendidikan, kualitas pendidikan setiap negara berbeda-beda. Seperti halnya kualitas pendidikan di Indonesia memprihatinkan. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.

Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Selain itu, fakta dalam data World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.

Berdasarkan data, sudah jelas bahwa kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Apa, sih, yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia rendah? Simak penjelasan selengkapnya!

1. Rendahnya Kualitas Guru

Guru menjadi salah satu indikator penting dalam dunia pendidikan. Guru yang berkualitas adalah ia yang berhasil menciptakan suatu perubahan dalam diri peserta didik menjadi lebih baik, baik alam aspek tingkah laku maupun intelegensi.

Namun, dilihat dari banyaknya kasus di Indonesia, guru terkadang belum memiliki profesionalisme dalam belajar. Tak jarang kita jumpai seorang guru yang mengajar tergantung honor. Selain itu lumrah ditemui guru yang belum kompeten di bidangnya.

Contohnya, ada guru yang cara mengajarnya monoton sehingga membuat murid bosan dan malas mendengarkan ketika sedang dijelaskan. Guru seharusnya bisa mengajar dengan kreatif, misalnya diselingi dengan mini games.

Beberapa penyebab rendahnya kualitas guru diantaranya adalah ketidaksesuaian ilmu dengan bidang yang diajar, rendahnya kualifikasi yang dimiliki guru, program Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) guru masih rendah, dan rekrutmen guru tidak efektif.

Solusinya untuk permasalahan ini, sebaiknya sebagai seorang guru hendaknya meningkatkan kualitas dirinya. Selain itu, perbaiki niat dalam mengajar dan mendidik siswa. Niatkan untuk berjuang di jalan Allah.

Amal seorang guru akan terus mengalir meski sudah meninggal sekalipun. Keikhlasan juga perlu dijadikan bekal. Saat seseorang ikhlas, maka ia akan melakukan segala hal dengan sukarela dan maksimal.

2. Sarana dan Prasarana Kurang Memadai

Sarana dan prasarana turut andil dalam menentukan kualitas pendidikan. Kita dapat melihat perbedaan dengan jelas antara sekolah-sekolah di kota dan di desa. Mutu pendidikan antara keduanya berbeda. Di kota segala perlengkapan yang menunjang pendidikan lengkap. Berbeda dengan di desa, terutama desa yang masih pelosok.

Misalnya, masih ada sekolah yang belum memiliki gedung sendiri, sehingga para muridnya harus menumpang pada gedung sekolah lain agar bisa belajar. Banyak pula sekolah yang tidak mempunyai perpustakaan yang layak sehingga kekurangan sumber belajar, sedangkan akses internet di daerah itu sulit untuk didapat, terutama daerah perbatasan.

Hal tersebut tentunya akan memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Maka, pemerintah perlu ikut andil dalam meningkatkan sarana dan prasarana agar proses belajar mengajar bisa berjalan dengan baik.

3. Biaya Pendidikan Mahal

Beberapa wilayah di Indonesia masih memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Hal ini menyebabkan para orang tua kesulitan dalam hal keuangan. Terkadang para orang tua lebih memilih untuk tidak menyekolahkan anak mereka karena terkendala biaya. Mereka merasa tak bisa menjangkaunya karena biaya pendidikan yang mahal. Jangankan untuk biaya sekolah, terkadang untuk keperluan sehari-hari saja susah.

Kendala ini  menyebabkan banyak sekali kita temui anak-anak yang seharusnya sekolah malah bekerja. Pekerjaan mereka pun beragam. Terkadang mengamen, menjual makanan, hingga menjadi pemulung.

Untuk itu, pemerintah harus lebih perhatian lagi kepada warna negaranya. Pemerintah harus memberikan biaya pendidikan kepada mereka yang kurang mampu karena hal tersebut merupakan kewajibannya seperti yang tercantum dalam UUD Pasal 31 ayat 2.

4. Menuntut Peserta Didik Bisa Di segala Bidang

Umumnya, sistem pendidikan di Indonesia menganut paham 'rangking'. Siapa yang tertinggi dialah yang dianggap paling cerdas. Orang-orang yang rangking menjadi kesayangan guru dan lebih dihargai. Hal ini bisa menimbulkan sikap syirik di kalangan murid lain.

Makanya tak jarang ada orang tua siswa yang menekan anaknya harus meraih rangking. Persoalan tersebut memiliki dampak pada psikologis anak. Mereka menjadi tertekan karena tuntutan itu. Jadi, yang mereka lakukan adalah belajar karena tuntutan, bukan karena kemauan sendiri. 

Terkadang murid yang memiliki nilai rendah dalam suatu bidang pelajaran dicap bodoh. Akibatnya rasa percaya diri mereka menjadi rendah. Misal dalam pelajaran matematika. Kita tentu pernah menemukan kasus seorang anak yang lemah di bidang pelajaran matematika, lantas ia dianggap bodoh. Padahal semua orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. 

Seperti halnya orang yang jago di bidang matematika, bisa jadi ia lemah di bidang bahasa atau olahraga, begitupun sebaliknya. Seharusnya guru memaklumi hal itu. Tak perlu memaksakan siswa untuk bisa di semua bidang.

Harusnya kita mencontoh sistem pendidikan negara maju seperti Jepang. Di negara Jepang tidak menganut sistem rangking ini. Mengapa demikian? Karena anak-anak dilatih maju bersama dalam tim. Bukan malah dilatih untuk bersaing atau saling mengalahkan satu sama lain. Bahkan hasil belajar di sana tidak ditentukan berdasarkan nilai. 

Dilansir dari ilmupengetahuanibu.wordpress.com, anak-anak di Jepang tidak pernah dikenalkan bahwa si A lebih pintar dan si B lebih bodoh. Masyarakat di sana paham bahwa setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 

5. Menganut Paham 'Menghapal' Dibanding 'Memahami'

Apa yang kita rasakan menjelang ulangan? Pastinya kita merasa gugup, pusing, bahkan setres. Ketika kecil kita tak asing mendengar orang dewasa mengatakan 'Ayo menghapal, besok ada ulangan!' Inilah yang ditanamkan di masyarakat kita sejak kecil.

Akibatnya kita tak terbiasa menanamkan pola 'memahami'. Kita cenderung sering menghapal dibanding memahami. Akibatnya ilmu yang kita dapatkan tak akan bertahan lama. Maka dari itu lumrah kita temukan siswa yang menyontek saat ujian berlangsung. 

Inilah yang menjadi penghambat berkembangnya kualitas peserta didik. Menghapal bisa membuat lupa, sedangkan memahami bisa lebih  awet. Hapal belum tentu paham, tapi jika paham sudah pasti hapal. 

Selain kebiasaan diatas, penerapan model pembelajaran yang kurang tepat bisa menjadi salah satu faktor. Materi dengan praktek hendaknya disesuaikan. Jangan dorong murid dengan materi terus-menerus. Mereka akan pusing dan bosan karenanya. Akibatnya materi pembelajaran sulit masuk ke otak. 

Di sinilah kemampuan guru diperlukan. Ia harus bisa membuat siswa benar-benar memahami materi yang diajarkan. Seorang guru juga harus kreatif dalam mengendalikan kelas. Ia juga harus bisa membuat siswanya berpikir kritis. Melatih berpikir kritis sejak dini sangat bagus untuk kemampuan intelegensinya.

Ada hal yang bisa dilakukan untuk melatih kemampuan berpikir kritis, salah satunya dengan membaca buku. Guru dan orang tua harus menanamkan budaya minat baca di kalangan peserta didik sejak dini.

Tak hanya itu, orang dewasa harus mendorong motivasi siswa dalam belajar. Dengan belajar, mereka dapat memahami ilmu yang diberikan. Dengan begiru, pengetahuan yang didapat akan tersimpan di memori jangka panjang. Maka saat ulangan tiba, anak tak perlu saat lupa hapalan karena mereka sudah memahami materi. Dengan demikian, siswa tak berpotensi untuk menyontek.

6. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Kesejahteraan guru menjadi salah satu faktor penentu tingkat kualitas pendidikan. Seperti yang diketahui, di Indonesia gaji guru sangat kecil. Padahal seorang guru memiliki jasa besar dalam memajukan bangsa Indonesia.

Baca Juga: Bagaimana Konsep Integrasi Antara Ilmu Pengetahuan, Teknologi Dan Seni?

Hal ini bisa menjadi penyebab guru yang mengajar tidak maksimal karena merasa kurang dihargai. Bisa juga guru malah mencari pekerjaan sampingan lain karena gajinya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Akibatnya, ia menjadi kurang maksimal dalam mengajar. Maka pemerintah harus meningkatkan honor guru untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

7. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan

Rendahnya relevansi pendidikan dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%,sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.

Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya, sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup. Hal tersebut menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

Dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui pendidikan, hal itu bisa tercapai. Kita juga bisa mewujudkan cita-cita/tujuan bangsa Indonesia. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, diperlukan pendidikan yang berkualitas pula.

Kita mengetahui bahwa pendidikan di Indonesia masih rendah. Maka, sebagai warga negara Indonesia, kita harus bekerja sama untuk meningkatkan mutu pendidikan.  Memperbaiki kualitas pendidikan tak hanya tugas pemerintah saja, tetapi juga tugas kita sebagai penerus bangsa.***

 

Editor: Kun Daniel Chandra

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah