Identitas berbasi agama dan suku/ etnis bisa diamati lewat praktik-praktik kehidupan sosial seseorang, misalnya praktik beribadah atau tradisi yang dirawat serta diwariskan suku-suku yang ada.
Ada juga kebiasaan menambahkan nama marga atau nama keluarga pada keturunan dari suku/marga tersebut.
Gagasan mengenai identitas berkembang tidak hanya berbasis Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) tetapi bisa pula dikaitkan dengan ciri-ciri seperti gaya hidup, keyakinan, bahkan orientasi seksual.
Pada gaya hidup identitas ditemukan pada kebiasaan makan yang melahirkan identitas vegan yang tidak memakan daging atau disebut vegetarian atau bagi kamu yang menjadi fans drama Korea biasanya teridentifikasi sebagai anggota dari suatu fans klub.
Keyakinan atau ideologi bisa pula menjadi dasar identitas seperti sosialis, komunis, penganut liberal, dan sebagainya. Singkatnya identitas ialah cerminan diri yang asalnya dari gender, tradisi, etnis serta proses sosialisasi.
Pembentukan Identitas
Manusia sebagai mahluk yang berpikir seperti kata Aristoteles. Sebagai mahluk berpikir, manusia menyadari keberadaan mahluk yang lain.
Ketika berpikir, manusia mempertanyakan keberadaan atau eksistensi dirinya. Lalu manusia menjadi mahkluk yang terus menerus mencari identitas dirinya sendiri. Kondisi seperti ini tidak terjadi pada mahkluk-mahkluk lainnya.
Identitas lantas dipahami sebagai kesadaran tentang konsep diri. Konsep diri ini integrasi gambaran diri yang dibayangkan sendiri dan yang diterima dari orang lain tentang apa dan siapa dirinya, serta peran apa yang dapat dilakukan dalam kaitan dengan diri sendiri serta orang lain.
Menurut Stuart Hall (1990), pembentukan identitas dapat dilihat dari 2 cara pandang yaitu: