Bukan seperti beberapa kasus yang muncul ke permukaan, di mana oknum-oknum di lingkungan pendidikan keagamaan justru menjadi pelaku yang merusak moral.
“Pendidikan keagamaan yang mengajarkan akhlak dalam beberapa kasus malah justru menjadi pelaku rusaknya akhlak. Ini jadinya tidak bisa dipegang antara pernyataan saat mengajar dengan kelakuannya, lalu bagaimana bisa menjadi panutan,” terangnya.
Lebih lanjut, menurutnya adanya PMA ini menjadi bukti bahwa pemerintah berupaya untuk memberikan respon cepat terkait temuan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku di lingkungan pendidikan keagamaan.
Apabila nanti ternyata dalam implementasinya ada kekurangefektifan, maka yang harus dilakukan evaluasi adalah sisi kelemahannya supaya tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan benar-benar dapat dihentikan.
“Kami berharap ke depan seluruh elemen pendidikan keagamaan mampu meningkatkan kesadaran agar lebih fokus pada kegiatan pendidikan. Mereka bisa saling mengingatkan terhadap gejala-gejala yang mengarah pada kekerasan seksual. Dengan demikian bisa dicegah sejak dini sebelum kejadian,” paparnya.
Baca Juga: Kemenag Targetkan Juknis PPG Madrasah Rampung Akhir 2022, Ternyata Kuotanya
Penting untuk diketahui bersama bahwa PMA yang berlaku sejak 6 Oktober 2022 ini mengatur mengenai beberapa hal urgen.
Di mana satuan pendidikan harus melakukan sosialisasi, pengembangan kurikulum dan pembelajaran.
Selain itu juga perlu melakukan penyusunan prosedur operasional standar pencegahan hingga melakukan pengembangan jejaring komunikasi.***