Ibu Rani telah mengajar sebagai guru honorer di SMP Teladan selama lima tahun dan pada tahun ajaran berikutnya, ia pindah mengajar di SMP Cahaya Bangsa sebagai guru berstatus kontrak.
Ibu Rani dikenal sebagai guru yang kompeten dan andal.
Kepala sekolahnya, Ibu Tuti, telah menyampaikan bahwa pada tahun ajaran depan, Ibu Rani akan diangkat menjadi pegawai berstatus tetap.
Minggu lalu, Ibu Rani mendapat undangan dari Dinas Pendidikan setempat untuk mengikuti program pelatihan guru sebagai bagian dari program sertifikasi guru.
Salah satu persyaratannya adalah menyertakan surat yang menyatakan bahwa ia adalah guru berstatus pegawai tetap.
Ibu Rani kemudian datang kepada Ibu Tuti dan memohon agar Ibu Tuti membuatkan surat keterangan tersebut hanya untuk dipakai sebagai persyaratan agar bisa mengikuti program sertifikasi guru.
Sertifikasi ini penting bagi Ibu Rani karena dengan itu, ia akan mendapatkan tunjangan setiap bulannya yang sangat dibutuhkan, mengingat ia adalah orangtua tunggal dengan dua anak kecil setelah suaminya meninggal dunia.
Ibu Rani khawatir bahwa jika ia tidak mengikuti program sertifikasi guru tahun ini, ia harus menunggu hingga tahun depan dan kemungkinan persyaratannya akan semakin berat sehingga belum tentu ia bisa masuk kualifikasi.
Situasi ini merupakan dilema etika bagi Ibu Tuti karena ia dihadapkan pada dua pilihan yang sulit: di satu sisi, membantu Ibu Rani dengan membuat surat keterangan yang belum sepenuhnya benar saat ini untuk keperluan sertifikasi, yang akan memberikan manfaat besar bagi kehidupan pribadi Ibu Rani dan kesejahteraannya.
Di sisi lain, Ibu Tuti harus mempertimbangkan integritas dan kejujuran dalam membuat surat resmi yang menyatakan status kepegawaian seseorang.