Membuat Puisi dari Cerpen (Transformasi) Malaikat Juga Tahu, dengan Unsur Fisik dan Unsur Batin

- 25 Januari 2024, 13:54 WIB
Membuat Puisi dari Cerpen (Transformasi) Malaikat Juga Tahu, dengan Unsur Fisik dan Unsur Batin
Membuat Puisi dari Cerpen (Transformasi) Malaikat Juga Tahu, dengan Unsur Fisik dan Unsur Batin /pexels.com/asya vlasova/

INFOTEMANGGUNG.COM - Adik-adik kelas 11, kita akan belajar membuat buat puisi dari cerpen di bawah. Ketentuannya: puisi terdiri atas 5 bait 4 baris ada unsur fisik dan unsur batin.

Kita baca dulu kutipannya sebelum belajar membuat buat puisi dari cerpen berikut. Laki-laki itu terbaring diatas rumput,menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.

PErhatikan ketentuan puisi 5 bait 4 baris ada unsur fisik dan unsur batin. MAri kita baca dulu cerpen selengkapnya.

Baca Juga: Pengertian Eksoterm dan Endoterm: Teori, dan Contoh, Kimia kelas 11 SMA Semester 2 Kegiatan 5.2

Perempuan itu hafal rutinitas ketat yang berlaku disana. Laki-laki disebelahnya memangkas rumput setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju berwarna gelap hari Rabu, baju berwarna sedang hari Jumat.

Menjerang air panas setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.

Banyak orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam disana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut bunda, sangat pandai memasak.

Rumah bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah kos paling legendaries. Bahkan ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan bunda.

Setiap lebaran, bunda memasak layaknya katering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Namun jika cuma akses tak terbatas atas masakan bunda yang jadi alasan persahabatan mereka berdua. Orang-orang tidak percaya.

Laki-laki itu yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah bunda, nomor dua setelah sesudah blasteran Doberman yang galaknya diluar akal tapi untungnya sekarang sudah ompong dan buta.

Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya.

Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya.

Sekalipun sanggup, bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial bagi Abang.

Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.

Bukannya tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tingkat tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi bunda.

Baca Juga: Kunci Jawaban Cerdas Cergas Berbahasa Indonesia Kelas 11 SMA Halaman 149 Bab 5 Kurikulum Merdeka Pentas Drama

Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tidak bisa mengobrolkan makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik dari semula.

Dia hafal tahun, hari, jam bahkan menit dari dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama diatas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi berkerja dan mengapa mereka bercita-cita.

Perempuan di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi.

Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dan tahun berapa saja terjadi pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumaman simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak seorang konduktor.

Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi sedetikpun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki disampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar biasa.

Barangkali segalanya tetap sama jika bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk pertama kalinya, anak itu menuliskan sesuatu diluar grup music art rock atau sejarah music klasik. Ia menuliskan surat cinta- kumpulan kalimat tak tertata yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.

Barangkali segalanya tetap sama jika adik Abang, anak bungsu bunda tidak kembali dari merantau panjang diluar negeri. Sang adik kata orang-orang, adalah hadiah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit langka dan tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik.

Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah dirumah karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.

Barangkali sang adik tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain, perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas itu bukan sekedar hobi, melainkan eksistensi.

Pertama kali Bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran. Bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya akan lebih mudah.

“Bagi kamu pasti ini terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”

Perempuan itu terhenyak. Apa-apaan ini? Pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih manusia satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.

Bunda melanjutkan dengan suara tertahan, “Dia mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.”

“Tapi.. Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan pernah ada yang tahu.” Lanjut perempuan itu.

Saat itu Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua. Namun ia tahu perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu. Cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin cintanya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.

Masih sambil berbaring, dengan punggung tangannya perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan gemulai seolah nenarikan tarian perpisahan. Ini akan menjadi malam minggu terakhirnya dipekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka bicara bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu.

“Dia tidak bodoh.”

“Bunda, saya tahu dia tidak bodoh.”

“Dia akan segera tahu kalian akan berpacaran.”

“Mami, lebih baik dia tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”

Bunda menggelengkan kepala dengan tatapan tak percaya, “Bagi Abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”

Baca Juga: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 2 Halaman 108: Arti Kata Hinggap, Hendak, Gemerlap, Bintang, Terbang

“Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.

“Kalau perlu kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas

“Ini tidak adil, ini tidak masuk akal...” protes anaknya lagi.

“Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita. Tidak berlaku bagi dia....” desis Bunda. “Kamu tidak tinggal dirumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.

Satu hari, pernah ada anak kos yang jahil. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu. Abang mengacak-acak satu rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya.

Baru sore hari ia ditemukan disebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani mengusir sendiri.

Kejadian itu mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan di rumah sakit dan diberi obat-obat penenang, Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit, dan obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bagi anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.

“Kamu harus kemari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda pada perempuan itu. “Dan selama kalian dirumah ini, kalian tidak boleh keliatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu Abangmu bisa bertahan.”

Selepas berbicara dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu disana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus sabun.

Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati. Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan diluar kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berulang kali dalam hati.

Sejenak lagi, malam minggu terakhir mereka usai.

Bunda menangisi setiap malam minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.

Semua anak kos kini menyingkir jika malam minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.

Kalau beruntung, Abang akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur dipangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.

Pada setiap penghujung malam minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.

Bunda tak bisa dan tak perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.

Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu.

Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan msuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.

Tak perlu ada kompetisi disini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.

--Dee

Malam Minggu Terakhir di Pekarangan yang Rapi

Lelaki terbaring di antara rerumputan,
Menatap bintang di langit yang kelabu.
Malam minggu yang paling tepat,
Untuk bermalam di pekarangan yang indah.

Perempuan mengerti rutinitas yang ketat,
Setiap hari selasa, kamis, dan sabtu terpangkas rumput.
Senin baju putih, rabu baju gelap,
Baju berwarna sedang di hari jumat.
Air panas mengalir pada pukul enam pagi,
Sabun mandi koleksi seratus menghiasi pagi dan sore.

Tanya-tanya banyak orang tentang persahabatan mereka,
Obrolan apa dan aktivitas apa di pekarangan itu.
Bunda terkenal pandai masak,
Rumahnya legendaris, ikatan alumni tak resmi.

Pertanyaan muncul tentang keanehan persahabatan itu,
Namun yang membuatnya tak masuk akal adalah,
Kebencian lelaki itu terhadap rumah bunda,
Tapi malah dekat dengan perempuan.

"Dia bukan bodoh," Bunda berkata,
Anaknya yang normal tapi sulit dipahami.
Percakapan mereka tak sesuai harapan,
Abang, meski sulit, mendengarkan dengan tulus.

Bunda menemukan surat-surat cinta Abang,
Tersimpan rapi, di luar kebiasaannya yang eksentrik.
Bunda tahu, cinta tanpa pilihan yang sejati,
Abang memberikan tanpa perlu mengharapkan.

Saat adik pulang dari rantau panjang,
Membawa kebahagiaan bagi Bunda yang kesepian.
Namun cinta tak selalu berjalan mulus,
Perempuan itu muncul, membawa perubahan.

Bunda menyadari, rutinitas Abang adalah esensi,
Cara hidupnya yang tak bisa berubah.
Sekali rutinitas terubah, bagaikan menawar bumi berhenti berputar.

Perempuan itu memilih pergi,
Menolak terikat dalam rutinitas rumah bunda.
Namun, malam minggu terakhir di pekarangan,
Adalah malam yang indah sekaligus perpisahan.

Bunda menangis dalam hati,
Tak cukup air mata, hanya pelukan air peluh.
Anak-anak kos menjauh saat malam minggu,
Suara Abang mencari, mencium aroma sabun.

Perempuan itu mengucapkan selamat tinggal,
Berbaring di rerumputan seragam.
Malam minggu terakhir di pekarangan yang rapi,
Indah sekaligus menghentakkan hati.

Selamat tinggal, Abang dan perempuan itu,
Rutinitas yang tak biasa, menjadi kenangan.
Bunda, dengan hati penuh pengorbanan,
Mengawal malam minggu di pekarangan yang hening.

Karena yang diminta 5 bait dan 4 baris, maka pilih saya 5 bait di atas yang mengena bagi kalain dan sesuai dengan cerpen. Semoga bermanfaat.***

Disclaimer:

Puisi yang tertera di atas sifatnya tidak mutlak.
Jawaban sifatnya terbuka sehingga bisa dieksplorasi lagi lebih lanjut.

Editor: Mariyani Soetrisno

Sumber: Buku.kemdikbud.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah