26 Puisi Sapardi Djoko Damono, Terkenal Karena Kata-katanya Sederhana

- 28 Juli 2023, 09:22 WIB
Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi Sapardi Djoko Damono /instagram @damonosapardi/

INFOTEMANGGUNG.COM - Sapardi Djoko Damono adalah salah satu sastrawan Indonesia yang terkenal akan puisinya yang romantis. Selain itu, puisinya menggunakan kata-kata sederhana namun kaya makna.

Sapardi Djoko Damono mampu meramu kata menjadi sebuah seni yang luar biasa yaitu puisi. Puisi Sapardhi yang paling terkenal yaitu 'Aku Ingin'. Tak hanya itu, puisi-puisi lainnya pun tak kalah keren.

Puisi Sapardi Djoko Damono mengandung nilai dan keestetikaan. Di antara pusi,-puisinya yang legendaris dan terkenal yaitu:

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Baca Juga: TERBARU Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 130 Kegiatan 2 Diskusikan Perbedaan Puisi Prosa Drama

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

1989

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.

1978

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Kuhentikan Hujan

Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak

Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

Hanya

Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana

Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu

Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kau ulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.

Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.

Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.

Baik, Tuan.

Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintai-Mu harus menjelma aku

Sajak Tafsir

Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.

Kita Saksikan

kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia

1967

Akulah Si Telaga

akulah si telaga:

berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

— perahumu biar aku yang menjaganya.

1982

Hujan Dalam Komposisi, 1

Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?
Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang
turun di selokan?

Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan

hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan
yang berulang.

“Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di

balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa
pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik
air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau
memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu
tidur.”

Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan

tak lagi mengenalnya.

1969

Hujan Dalam Komposisi, 2

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di

udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam

dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau

bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari

daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di

pekarangan rumah, dan kembali ke bumi.

Apa yang kita harapkan? Hujan juga terjatuh di jalan yang

panjang, menusurnya, dan tergelincir masuk selokan

kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus

mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini,

bercakap tentang lautan.

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan,

Selamat tidur.

1969

Hujan Dalam Komposisi, 3

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya
terpisah dari hujan

1969

#16. Metamorfosis
Metamorfosis

Ada yang sedang menanggalkan
kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya

tubuh siapakah gerangan
yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu

ada yang sedang diam-diam
berubah menjadi dirimu.

Sajak Putih

Beribu saat dalam kenangan
Surut perlahan
Kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
Sewaktu detik pun jatuh

Kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
Sewaktu bayang-bayang kita memanjang
Mengabur batas ruang

Kita pun bisu tersekat dalam pesona
Sewaktu ia pun memanggil-manggil
Sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
Di luar cuaca

Dalam Diriku

Dalam diriku mengalir sungai panjang
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah
Aku menangis sepuas-puasnya.

Ayat-Ayat Tokyo

/1/
angin memahatkan tiga panah kata
di kelopak sakura–
ada yang diam-diam membacanya

/2/
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu;
“kita bergegas,” katanya

/3/
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan

/4/
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung–
tak tahu mesti ke mana
angin menyambut bunga gugur itu

/5/
lengking sakura–
tapi angin tuli
dan langit buta

/6/
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam–
angin musim semi

Kenangan

/1/
Ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang

/2 /
Tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci.

/3 /
Ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik

Ruang Tunggu

ada yang terasa sakit
di pusat perutnya
ia pun pergi ke dokter
belum ada seorang pun di ruang tunggu
beberapa bangku panjang yang kosong
tak juga mengundangnya duduk
ia pun mondar-mandir saja
menunggu dokter memanggilnya
namun mendadak seperti didengarnya
suara yang sangat lirih
dari kamar periksa
ada yang sedang menyanyikan
beberapa ayat kitab suci
yang sudah sangat dikenalnya
tapi ia seperti takut mengikutinya
seperti sudah lupa yang mana
mungkin karena ia masih ingin
sembuh dari sakitnya

Sementara Kita Saling Berbisik

sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka

Baca Juga: Kenali Cara Membuat Puisi Akrostik Beserta Contohnya!

ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa

unggun api

sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.

1966

Tentang Matahari

Matahari yang ada di atas kepalamu itu
Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kauterima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!” –
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu itu.

1971

Ia Tak Pernah

ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api

ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon

ia tak pernah berjanji kepada api
untuk mengembalikan pohon
kepada burung

Gerimis Jatuh

Gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
Bayang-bayang angin berdiri di depanmu
Tak usah kau ucapkan apa-apa; seribu kata
Menjelma malam, tak ada yang di sana

Tak usah; kata membeku,

Detik meruncing di ujung Sepi itu
Menggelincir jatuh
Waktu kaututup pintu.

Belum teduh dukamu.

Di Restoran

Kita berdua saja

Duduk

Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput
Kau entah memesan apa

Aku memesan batu

Di tengah sungai terjal yang deras

Kau entah memesan apa

Tapi kita berdua saja

Duduk

Aku memesan rasa sakit yang tak putus

Dan nyaring lengkingnya,
Memesan rasa lapar yang asing itu

Dalam Doaku

Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang diatas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Baca Juga: Makna Puisi ‘Cita-Citaku’, Kunci Jawaban Halaman 45–46 Kelas 4 Tema 6

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun disana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

Aku mencintaimu,
itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu

Kepada Istriku

Pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua

Pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata

1967

Atas Kemerdekaan

Kita berkata: jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya: langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk

mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu:
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah

Itulah kumpulan puisi dari Sapardi Djoko Damono. Ia menghembuskan napas terakhirnya pada minggu 19 juli 2020 di Rumah Sakit Eka Hospital BSD Tangerang Selatan. Meski beliau telah meninggalkam dunia ini, namanya tetap abadi melalui karya fenomenalnya.

Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono memiliki diksi sederhana. Kebanyakan puisinya mengambil unsur alam seperti gunung, angin, pohon, dan lain sebagainya.

Tak dapat dipungkiri, puisi Sapardi memiliki daya tarik lewat kata-katanya. Jika ingin mengetahui makna yang terkandung, perlu pengkajian mendalam yang membutuhkan teori.

Tak semua orang bisa memahami makna puisi di balik kata-kata sederhananya. Terlepas dari itu semua, puisi Sapardi Djoko Damono tetap disenangi di kalangan orang yang menyukai sastra maupun non sastra.***

 

Dapatkan informasi terbaru terkait dunia pendidikan dengan bergabung di grup telegram kami. Mari bergabung di Grup Telegram dengan cara klik tombol dibawah ini:

Kamu juga bisa request kunci jawaban atau info lainnya dengan topik pendidikan.

Editor: Kun Daniel Chandra

Sumber: gasbanter.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah